Oleh: Iwan
Sutedi
Merupakan suatu kewajiban bagi kita
untuk menuntut ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah agar kita dapat meghindari dan
menolak syubhat di dalam memahami dien Islam ini. Telah kita sepakati bersama
bahwa hanya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah kita dapat selamat dan tidak akan
tersesat.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
bersabda:
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ اللهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
“Aku tinggalkan pada kalian dua
perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan sesat
selama-lamanya yaitu: Kitabullah dan sunnah NabiNya”. (Hadist Riwayat Malik
secara mursal (Al-Muwatha, juz 2, hal. 999).
Syaikh Al-Albani mengatakan dalam
bukunya At-Tawashshul anwa’uhu wa ahkamuhu, Imam Malik meriwayatkan
secara mursal, dan Al-Hakim dari Hadits Ibnu Abbas dan sanadnya hasan, juga
hadist ini mempunyai syahid dari hadits jabir telah saya takhrij dalam Silsilah
Ahadits As-Shahihah no. 1761).
Adakah pilihan lain agar kita termasuk
dalam orang-orang yang selamat dan agar umat Islam ini memperoleh kejayaan lagi
selain mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus
Shalih? tentu tidak ada, karena sebenar-benar ucapan adalah Kalamullah,
sebaik-baik petunjuk adalah sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan
sebaik-baik generasi adalah generasi sahabat yang telah Allah puji dan Allah
ridhai.
Suatu kebahagiaan kiranya jikalau kita
termasuk dalam golongan yang selamat, golongan Tha’ifah Manshurah
(kelompok yang mendapat pertolongan) dari Allah.
Kebanyakan ummat Islam, kini terjebak
dalam taklid buta. Terkadang suatu anjuran untuk mengikuti dan berpegang teguh
pada Al-Qur’an dan sunnah serta memalingkan jiwa dari selain keduanya dianggap
sebagai seruan yang mengajak kepada pelecehan pendapat para ulama dan
menghalangi untuk mengikuti jejak para ulama atau mengajak untuk menyerang
perkataan mereka. Padahal tidak demikian yang dimaksudkan, bahkan harus
dibedakan antara mengikuti Nabi semata dengan pelecehan terhadap pendapat para
ulama. Kita tidak boleh mengutamakan pendapat seseorang di atas apa yang telah
dibawa oleh beliau dan tidak juga pemikirannya, siapapun orang tersebut.
Apabila seseorang datang kepada kita membawakan suatu hadits, maka hal pertama
yang harus kita perhatikan adalah keshahihan hadits tersebut kemudian yang
kedua adalah maknanya. Jika sudah shahih dan jelas maknanya maka tidak boleh
berpaling dari hadits tersebut walaupun orang disekeliling kita menyalahi kita,
selama penerapannya juga benar.
Para Imam ulama salaf yang dijadikan panutan umat, mencegah para pengikutnya mengikuti pendapat
mereka tanpa mengetahui dalilnya. Di antara ucapan Abu Hanifah: “Tidak halal
bagi seseorang untuk mengambil
pendapat kami sebelum dia mengetahui
dari mana kami mengambilnya.” Kemudian:
“Bila saya telah berkata dengan satu
pendapat yang telah menyalahi kitab Allah ta’ala dan sunah Nabi Shallallaahu
alaihi wa Salam , maka tinggalkanlah pendapatku.”
Sedangkan mayoritas ummat Islam
sekarang ini mereka berkata, “Ustadz saya berkata.”
Padahal sudah datang kepada mereka
firman Allah dalam surat Allah Hujarat ayat 1:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya.”
Ibnu Abbas berkata. “Hampir-hampir saja
diturunkan atas kalian batu dari langit. Aku mengataklan kepada kalian,”
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, tetapi kalian mengatakan, Abu
Bakar berkata, Umar berkata.”
Firman Allah dalam surat 7 ayat 3:
“Ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya.
Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padaNya).”
Kemudian salah satu penyakit umat Islam
sekarang ini disamping taklid buta adalah banyaknya para pelaku bid’ah. Dan di
antara sebab-sebab yang membawa terjadinya bid’ah adalah:
1. Bodoh tentang hukum agama dan
sumber-sumbernya
Adapun sumber-sumber hukum Islam adalah
Kitabullah, sunnah RasulNya dan ijma’ dan Qiyas. Setiap kali
zaman berjalan dan manusia bertambah jauh dari ilmu yang haq, maka semakin
sedikit ilmu dan tersebarlah kebodohan. Maka tidak ada yang mampu untuk
menentang dan melawan bi’dah kecuali ilmu dan ulama. Apabila ilmu dan ulama
telah tiada dengan wafatnya mereka, bi’dah akan mendapatkan kesempatan dan
berpeluang besar untuk muncul dan berjaya dan tokoh-tokoh bid’ah bertebaran
menyeret umat ke jalan sesat.
2. Mengikuti hawa nafsu dalam masalah
hukum
Yaitu menjadikan hawa nafsu sebagai
sumber segalanya dengan menyeret/membawa dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah
untuk mendukungnya, dalil-dalil tersebut dihukumi dengan hawa nafsunya. Ini
adalah perusakan terhadap syari’at dan tujuannya.
“Maka pernahkah kamu melihat orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiar-kan sesat) ...” (Al-Jatsiyah: 23).
3. Fanatik buta terhadap
pemikiran-pemikiran orang tertentu
Fanatik buta terhadap pemikiran
orang-orang tertentu akan memisahkan antara seorang muslim dari dalil dan
al-haq. Inilah keadaan orang-orang yang fanatik buta pada zaman kita sekarang
ini, Mayoritas terdiri dari pengikut sebagian madzhab-madzab, sufiyyah
dan quburiyyun (penyembah-penyembah kuburan), yang apabila mereka diseru
untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, mereka menolaknya. Dan mereka juga menolak
apa-apa yang menyelisihi pendapat mereka. Mereka berhujah dengan madzab-madzab,
syaikh-syaikh, kiyai-kiyai, bapak-bapak nenek moyang mereka. Ini adalah pintu
dari sekian banyak pintu-pintu masuknya bid’ah ke dalam agama Islam ini.
4. Ghuluw (berlebih-lebihan)
Contoh dari point ini adalah madzab
khawarij dan syi’ah. Adapun khawarij, mereka ghuluw berlebihan dalam
memahami ayat-ayat peringatan dan ancaman. Mereka berpaling dari ayat-ayat
raja’ (pengharapan), janji pengampunan dan taubat sebagaimana Allah Subhannahu
wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendakiNya ...” (An-Nisa’: 48,116).
5. Tasyabuh dengan kaum kuffar
Tasyabbuh (menyerupai) kaum kuffar adalah sebab
yang paling menonjol terjatuhnya seorang kedalam bid’ah. Hal ini pulalah yang
terjadi di zaman kita sekarang ini. Karena mayoritas dari kalangan kaum
Muslimin taqlid kepada kaum kuffar pada amal-amal bid’ah dan syirik.
Seperti perayaan-perayaan ulang tahun (maulid) dan mengadakan hari-hari atau
minggu-minggu khusus dan perayaan serta peringatan bersejarah (menurut anggapan
mereka) seperti: peringatan Maulid Nabi. Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan yang
lainnya adalah meyerupai peringatan-peringatan kaum kuffar.
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum
maka dia termasuk
mereka”. (Abu Dawud).
6. Menolak bid’ah
dengan bid’ah yang semisalnya atau bahkan yang lebih rusak
Contohnya ialah kaum Murji’ah,
Mu’tazilah, Musyabibhah dan Jahmiyyah. Kaum Murji’ah memulai bid’ahnya dalam
mensikapi orang-orang yang dizamannya, mereka berkata: “Kita tidak menghakimi
mereka dan kita kembalikan urusannya kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala ”.
Hingga akhirnya mereka sampai pada pendapat bahwa maksiat tidak me-mudharat-kan
iman, sebagaimana tidak berfaedah ketaatan yang disertai kekufuran. Al-Baghdadi berkata:
“Mereka dinamakan Murji’ah karena mereka memisahkan amal dari keimanan.”
Demikianlah, para ahlul bid’ah menjadikan
kebid’ahan-kebid’ahan yang mereka lakukan sebagai satu amalan ataupun suatu
sunnah, sedangkan yang benar-benar sunnah mereka jauhi. Padahal sesungguhnya
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengajarkan suatu
amalan yang tidak ada keterangannya dari kami (Rasulullah), maka dia itu tertolak.” (Hadist riwayat Muslim).
Oleh karena itu jika kita mempelajari
seluk beluk taqlid, kemudian kita pelajari hakekat kebid’ahan niscaya kita tahu
bahwa ternyata antara bid’ah dan taqlid mempunyai hubungan yang sangat erat
sekali. Jika kita perhatikan perbuatan bid’ah niscaya kita akan mengetahui
bahwa pelakunya adalah seorang muqallid. Dan kalau kita melihat seorang muqallid,
niscaya kita lihat bahwa dia tenggelam dalam kebid’ahan, kecuali bagi mereka
yang dirahmati oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Berikut ini ada beberapa sebab yang
menunjukkan bahwa taqlid itu mempunyai hubungan yang erat dengan bid’ah.
Muqallid tidak bersandar dengan dalil
dan tidak mau melihat dalil; jika dia bersandar pada dalil, maka dia tidak lagi
dinamakan muqallid. Demikian pula mubtadi’, diapun dalam
melakukan kebid’ahan tidak berpegang dengan dalil karena kalau berpegang dengan
dalil maka ia tidak lagi dinamakan dengan mubtadi’ karena asal bid’ah
adalah mengadakan sesuatu hal yang baru tanpa dalil atau nash.
Taqlid dan bid’ah adalah tempat
ketergelinciran yang sangat berbahaya yang menyimpangkan seseorang dari agama
dan aqidah. Karena dua hal tersebut akan menjauhkan pelakunya dari nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber kebenaran.
Taqlid dan bid’ah merupakan sebab utama
tersesatnya umat terdahulu. Allah Subhannahu wa Ta'ala menceritakan dalam
Al-Qur’an tentang Bani Isra’il yang meminta Musa Alaihissalam untuk menjadikan
bagi mereka satu ilah dari berhala, karena taqlid kepada para penyembah berhala
yang pernah mereka lewati.
FirmanNya:
“Dan kami seberangkan Bani Israil
keseberang lautan itu, maka setelah mereka sampai pada satu kaum yang telah menyembah
berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (sesembahan
yang terlihat dengan mata / “berhala”) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala/
sesembahan yang banyak)!. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui
(sifat-sifat Ilah)! “sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang
dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al- A’raf: 138-139).
Sekalipun Nabi Musa Alaihissalam
melarang dan mencerca mereka dan mereka mengetahui bahwa arca itu hanyalah
bebatuan yang tidak memberi manfaat dan mudlarat, tetapi mereka tetap membikin
patung anak sapi dan menyembahnya.
Hal ini disebabkan karena taqlid yang
sudah menimpa diri mereka. Ayat ini sangat jelas menunjukkan bahaya taqlid dan
hubungannya yang sangat erat dengan kebid’ahan bahkan dengan kesyirikan dan
kekufuran. Hal inilah yang merupakan sebab kesesatan Bani Isra’il dan umat
lainnya, termasuk sebagian besar ummat Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam .
Terakhir adalah bagaimana cara kita
untuk keluar dari bid’ah ini
Jalan keluar dari bid’ah ini telah di
gariskan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dalam banyak hadits. Dan
satu di antaranya adalah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
pemahaman para Salafus Shahih, , karena mereka adalah orang yang paling
besar cintanya kepada Allah dan RasulNya, paling kuat ittiba’nya, paling
dalam ilmunya, dan paling luas pemahamannya terhadap dua wahyu yang mulia
tersebut. Dengan cara ini seorang muslim mampu berpegang teguh dengan agamanya
dan bebas dari kotoran yang mencemari dan terhindar dari semua kebid’ahan yang
menyesatkan.
Mudah-mudahan Allah senantiasa
memberikan taufiq dan hidayahNya kepada kita semua dan kepada saudara-saudara
kita yang terjerumus dan bergelimang di dalam kebid’ahan. Mudah-mudahan pula
Allah menambah ilmu kita, menganugrahkan kekuatan iman dan takwa untuk bisa
tetap istiqomah di atas manhaj yang hak dan menjalani sisa hidup di jaman yang
penuh fitnah ini dengan bimbingan syari’at Muhammadiyah (syariat yang dibawa
oleh Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam ), sampai kita bertemu Allah dengan
membawa bekal husnul khatimah.
Amin ya Rabbal Alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar