09 Maret 2012

Sanksi Pembunuhan Bagian II (Pembunuhan Murni karena Kesengajaan)


Saudaraku, ....Pembunuhan itu terbagi menjadi tiga jenis: Pertama, pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh kekeliruan yang mirip dengan pembunuhan yang disengaja atau pembunuhan tidak terencana. kedua, pembunuhan yang murni karena tidak sengaja, seperti kecelakaan, kekeliruan (salah sasaran buruan binatang) dan semisalnya. Ketiga, Pembunuhan murni karena kesengajaan.

Pada edisi yang lalu, kami sudah bahas jenis pembunuhan ke satu dan ke dua. dan alhamdulillah pada edisi kali ini kami akan melanjutkan jenis pembunuhan yang ke tiga yaitu, Pembunuhan Murni karena Kesengajaan


Pembunuhan Murni karena Kesengajaan

yaitu seseorang berniat/bersengaja (untuk membunuh) orang lain yang dia ketahui berstatus ma’shum (jiwa dan hartanya terjaga) dengan menggunakan alat yang pada umumnya dapat digunakan untuk membunuh, baik dengan benda tajam, seperti pedang dan semisalnya, atau dengan benda tumpul seperti landasan besi (tempat penempaan untuk pandai besi) dan tongkat yang kuat. Atau dia menggunakan metode lain dalam membunuh orang tersebut, seperti dengan membakar, menenggelamkan, melemparnya dari tempat yang tinggi, mencekik, memegang (memencet) biji kemaluan hingga ruh orang tersebut melayang (mati), membekap wajahnya hingga mati, meminumkan racun kepadanya, atau dengan perbuatan-perbuatan lain yang semisal.

 Niat/bersengaja adalah syarat pembunuhan yang disengaja. “Diniatkan” tidak termasuk orang yang tidak meniatkan hal itu, (seperti jika) dia tidak bermaksud (membunuh) seseorang yang ma’shum (orang yang tidak boleh dibunuh). Dia hanya bermaksud melempar ke binatang buruan, lalu mengenai seseorang yang ma’shum, lalu ia terbunuh. Maka hal ini tidak disengaja. Begitu pula dengan, jika dia tidak mengetahuinya ma’shum, seperti jika dia melihat seseorang yang berjalan di barisan orang-orang kafir (dalam peperangan) lalu dia membunuhnya dengan sangkaan bahwa dia adalah kafir atau tidak ma’shum. Atau dia melihat seseorang yang telah murtad (dia mengira bahwa dia murtad [padahal dia muslim]), dan dia tidak kembali (memeluk) islam setelah diseru kepada islam, lalu dia membunuhnya, maka ini bukanlah kesengajaan, tetapi pembunuhan tidak disengaja karena ketidak-tahuan. Begitu pula jika dia melihat sesuatu yang menakutkan (dalam kegelapan), dia mengira pohon kurma, anjing, atau apa-apa yang serupa dengannya, lalu dia membunuhnya. Ini bukanlah kesengajaan karena dia tidak mengetahuinya (sebagai) orang yang ma’shum.

Adapun jika dia membunuh dengan menggunakan apa-apa (/alat) yang umumnya tidak dapat digunakan untuk membunuh, maka bukanlah kesengajaan. Atau jika dia memukulnya dengan tongkat yang kecil, lalu dia meninggal, maka ini bukanlah kesengajaan. Akan tetapi jika dia membunuh dengan alat (cara) yang pada umumnya bisa membunuh, maka hal itu adalah kesengajaan.

Apabila hal ini (pembunuhan dengan disengaja) dilakukan, Maka sanksi qishosh wajib (diberlakukan), yaitu kerabat terbunuh diberi kesempatan (untuk menetapkan hukuman) kepada pembunuh. Jika mereka mau, mereka bisa memilih satu di antara tiga alternatif, yaitu hukuman mati, memaafkan pelaku pembunuhan atau mengambil diyat dari keluarga pembunuh. Dan kerabat korban tidak boleh membunuh orang lain selain pembunuhnya, karena Alloh Ta’ala berfirman:

وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya, melainkan dengan suatu alasan yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zhalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapatkan pertolongan.” (QS. Al-Isro’: 33)

Menurut salah satu pendapat, tafsir ayat ini adalah janganlah dia membunuh selain pelaku pembunuhan.

Alloh swt memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya , yakni kekuasaan syar’i dan kekuasaan qodri (kewenangan menangkap dan lain-lain), kedua-duanya.

Kekuasaan syar’i adalah ahli waris diberi kesempatan membunuh si pembunuh berdasarkan syari’at. 

Kekuasaan qodri adalah karena pembunuh itu walaupun bersembunyi atau kabur, umumnya dia dapat ditangkap dan dibawa. Ini adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh fakta. 

Oleh karenanya Alloh berfirman: “Maka janganlah dia berlebih-lebihan dalam membunuh.” Seakan-akan dia pasti ditemukan adalah sesuatu yang sudah maklum. Akan tetapi janganlah dia melampaui batas dalam membunuh (membunuh selain pembunuh). Atau janganlah dia dibawa oleh semangat dan kebencian untuk membunuh melebihi pembunuhan (yang dilakukan) si pembunuh tersebut. contohnya, janganlah dia melakukan pembunuhan sadis terhadapnya (dalam menghukum mati) dan jangan pula dia membunuh dengan alat yang lebih keras dari alat yang digunakan pembunuh. akan tetapi (hendaknya) sama atau bahkan lebih ringan

Terhadap anggota tubuh (qishosh pada anggota tubuh), janganlah melebihi apa yang dipotong oleh orang yang melakukan pemotongan. Contohnya, jika dia memotongnya berawal dari persendian telapak tangan, maka janganlah dia memotong dari persendian siku. 

Akan tetapi, apakah memungkinkan (dibolehkan) untuk membius pelaku supaya dia tidak merasakan sakitnya pemotongan anggota tubuh? Jawabannya, tidak boleh. Jika hal ini dilakukan terhadapnya, makna qishosh menjadi kurang. Sebab, Orang yang menjadi korban merasakan sakitnya pemotongan dan hilangnya anggota tubuh. Oleh karena itu, kita menjadikan hal ini sama agar orang yang diqishosh merasakan sakitnya pemotongan dan hilangnya anggota tubuh.

Kekuasaan Qodri itu banyak terjadi. Seluruh kejadian-kejadian yang kita dengar menunjukkan bahwa hal itu terjadi. Akan tetapi, lihatlah firman Alloh! “Barangsiapa dibunuh secara zhalim,” karena terkadang dia berlaku zholim, lalu dia dibunuh oleh orang yang dizholimi, lalu pembunuh terkadang kabur dan tidak bisa ditangkap. Akan tetapi, barangsiapa yang membunuh orang yang dizholimi, maka orang ini –Subhanalloh- harus di tangkap. keputusan syari’at mempunyai peranan dalam hal ini, yakni Alloh swt memberikan bantuan dan pertolongan, dan pelaku akan dipersulit (hidupnya) oleh Alloh sehingga dia akan datang dan memberikan pengakuan.

Diriwayatkan dari Abu Syuroih al-khuza’i ra, dia berkata, “Rosululloh saw bersabda,
Barangsiapa yang ditimpa pembunuhan atau mengalami luka pada anggota badan, maka dia berhak memilih salah satu diantara tiga hal, jika dia menginginkan yang keempat maka cegahlah. Ketiga hal tersebut adalah menghukum mati, memaafkan atau mengambil diyat. Maka barangsiapa yang telah memilih salah satu dari ketiga hal tersebut kemudian ia berbuat aniaya, maka sesunguhnya baginya neraka Jahannam, dia kekal lagi dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.” (HR. Abu Dawud)

Maka barangsiapa yang membunuh (si pembunuh atau kerabatnya) setelah memberikan maaf atau setelah mengambil diyat, maka hal tersebut merupakan dosa yang lebih besar dari pembunuhan yang dilakukan oleh pihak pertama. Jadi, membunuh si pembunuh setelah diambilnya diyat lebih besar dosanya dari pembunuhan pertama kali. hal ini disebabkan karena mereka itu menodai perjanjian. Karena pengambilan diyat sebagai ganti dari hukuman mati mempunyai kedudukan yang sama dengan perjanjian agar mereka tidak menghukum mati saudaranya. Maka jika dia menghukum mati, maka hal itu menjadi pelanggaran terhadap perjanjian dan pelanggaran terhadap kehormatan terpidana mati. adapun pembunuhan pertama kali, di dalamnya tidak terdapat kecuali pelanggaran terhadap kehormatan orang yang terbunuh saja. Oleh karenanya, hal ini menjadi lebih besar dosanya. Oleh karena itu Alloh swt berfirman: “Maka barangsiapa yang berlaku sewenang-wenang setelah itu, maka baginya adzab yang pedih.” 

Jika dia (keluarga korban) membunuh si pembunuh setelah diambilnya diyat, maka hal ini sangat biadab sehingga sebagian ulama berpendapat wajib membunuh orang tersebut sebagai bentuk hadd kepadanya dan perkara tersebut bukanlah urusan kerabat korban yang terbunuh. Alloh Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada pihak yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Robb-mu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. al-Baqoroh: 178-179)

Perhatikan ayat diatas!!! “dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu” . kalimat ini ringkas, tetapi mencakup makna yang besar. Terkadang orang menyangka bahwa qishosh itu menambah pembinasaan jiwa. Apabila seseorang membunuh kemudian dia dihukum mati, jadilah orang yang terbunuh itu ada dua orang. Apabila tidak dibunuh maka orang yang terbunuh itu hanya satu. Orang yang berprasangka itu menyangka bahwa qishash bertujuan menambah orang yang terbunuh. Alloh Ta’ala berfirman, “dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup”. Ada kehidupan. Apabila pembunuh diqishash, maka tidak ada seorangpun yang mengulangi hal seperti itu dan orang-orang tercegah darinya. Setiap orang juga menjadi takut untuk membunuh. Oleh karena itu Alloh swt berfirman, “ Wahai orang-orang yang berakal”. Alloh Ta’ala berbicara kepada manusia melalui (perantaraan) akal karena hal ini membutuhkan perhatian dan pecermatan dalam akibat-akibatnya. Selain itu dampak lainnya jika hukum Alloh tidak dilakukan adalah akan adanya fitnah dan permusuhan yang besar, (terkadang) akan ada bunuh membunuh yang dikarenakan dendam dan tidak akan ada habisnya pembunuhan tersebut, atau kedua pihak akan memiliki sekutu dari kaum yang lain dan akan menjadi perang yang besar. atau terkadang si pembunuh tidak mendapatkan hukuman dari perbuatannya disebabkan status dia (pembunuh) adalah orang yang dimuliakan dan dihormati sehingga mendorong kerabat orang yang dibunuh untuk melakukan pembalasan dengan membunuh kerabat si pembunuh yang berada dalam kekuasaan mereka. 

Semua itu disebabkan perbuatan mereka yang tidak mau menempuh jalur keadilan, yaitu dengan menerapkan qishosh dalam masalah pembunuhan. Maka Alloh swt telah menetapkan qishosh bagi kita yang mengandung keadilan dalam masalah pembunuhan dan Dia telah memberitahukan bahwa dalam qishosh terdapat kehidupan, karena qishosh akan menyelamatkan jiwa orang yang tidak bersalah dari kedua pihak yang bertikai (yaitu kerabat pihak yang membunuh dan yang terbunuh). Selain itu, qishosh merupakan metode yang adil, karena jika orang yang ingin membunuh itu mengetahui bahwa dia pun akan dibunuh (jika melakukan pembunuhan), niscaya dia akan menahan diri untuk membunuh orang lain.

Sumber:
  1. Politik Islam (Ta’liq Siyasah Syar’iyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah), oleh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin –rohimahulloh-.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar