25 Juli 2009

Murnikan Aqidah mu

Kehidupan beragama kaum muslimin yang telah banyak mengalami penambahan-penambahan, tentunya butuh kepada pemurnian. Sehingga agama mereka kembali sebagaimana diturunkannya pertama kali.

Melalui sejarah kita bisa melihat, tidak ada suatu kaum yang lebih mulia dari pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Hal itu karena mereka benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran Nabi mereka yang masih murni tanpa tercampuri perkara-perkara baru. Mereka sangat jauh dari perkara baru yang diada-adakan di dalam agama. Mereka paham bahwa perkara-perkara baru itu bukan dari islam dan hanya akan membawa kehinaan dan kerugian kepada pelakunya.

BID’AH SEBAB KEHINAAN DAN KERUGIAN

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini padahal bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih).

”Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-penj.) kami padanya maka ia tertolak.” (Riwayat Muslim no. 1718)

Tidak hanya tertolak, bahkan perkara baru itu adalah merupakan kesesatan.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”Jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama -penj.), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Ash-Shahihah no. 2735)

Maka adakah orang yang lebih hina dari pada orang yang berada di dalam kesesatan dan ditolak amal perbuatannya?

Allah ta’ala berfirman, (yang artinya) :
”Katakanlah : Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 103-105).

Tentang makna ayat ini Ali radhiallahu’anhu berkata, “Dan sesungguhnya ayat ini umum (mencakup) setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan jalan yang tidak diridhai. Dia menyangka bahwa jalan itu benar dan amalnya diterima padahal dia telah salah dan tertolak amalnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).

KENYATAAN YANG ADA

Namun sayang, apa yang telah diwanti-wanti oleh Al-Quran dan As-Sunnah terjadi pula dikalangan kaum muslimin. Alangkah banyaknya kaum muslimin yang menganggap suatu perkara termasuk dalam agama padahal agama islam berlepas diri darinya. Dalam segala hal!
Sebagai contoh, dalam aqidah (keyakinan) sebagian orang menyangka, termasuk penghormatan kepada para Nabi dan orang-orang shalih, kita berdoa kepada Allah dengan perantara (kedudukan) mereka di sisi Allah. Padahal kalimat Laa ilaaha illallah menuntut kita untuk berdoa hanya kepada Allah semata secara langsung, tanpa menjadikan orang yang telah wafat atau kedudukan mereka sebagai perantara.

Sesungguhnya Allah telah menunjukkan hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk meminta tolong kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.

Firman-Nya, (yang artinya) :
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 5)

Rasulullah saw. telah berwasiat kepada Abdullah ibnu Abbas ra. untuk hanya memohon pertolongan kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Sabdanya,
“Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan, maka memohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidji dan menshahihkannya dalam kitab Al-Qiyamah :59)
-------
Sebagian orang menyangka bahwa kubur para Nabi, wali dan orang-orang shalih memiliki keutamaan, sehingga mereka berduyun-duyun untuk beribadah di sana. Sedangkan syariat islam yang sempurna melarang kita menjadikan kubur sebagai tempat peribadahan.

Dalam Shahih Muslim tercantum riwayat dari Abdullah Bajli, katanya : “Saya dengar Rasulullah saw. bersabda lima hari sebelum beliau wafat :
“... dan orang-orang sebelum kamu biasa mengambil kuburan Nabi-nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai mesjid. Ingatlah, janganlah kamu mengambil kuburan untuk menjadi mesjid. Saya melarangmu dari demikian!”.
-------
Sebagian orang menyangka, cukup dengan ikhlas dalam ibadah maka ibadah akan diterima oleh Allah. Padahal islam tidak akan tegak kecuali dengan dua kalimat syahadat, Laa ilaaha illallah yang menuntut keikhlasan dan Muhammad rasulullah yang menuntut agar amal ibadah sesuai dengan yang beliau ajarkan.

Firman Allah (yang artinya) :
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah...!” (QS. Ali Imran : 110)
“Sungguh pada diri Rasulullah (saw.) itu terdapat suri tauladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (QS.Al-Ahzab : 21)
-------
Dan masih banyak hal lain dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, politik, ekonomi dan berbagai sisi kehidupan manusia, yang dianggap dari islam padahal agama ini berlepas diri darinya.

KEWAJIBAN KITA

Bila demikian keadaannya, maka sungguh kita harus benar-benar membersihkan aqidah, ibadah, muamalah dan seluruh sisi kehidupan kita dari seluruh noda-noda yang mengotori agama kita. Sehingga kita benar-benar akan kembali kepada islam yang murni, sesuai dengan yang dianut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Hal itu kita mulai dari diri kita, kita pelajari bagaimana cara beragama umat terbaik dan termulia, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya. Kita teladani mereka dan kita tinggalkan segala hal yang bertentangan dengannya. Kemudian, kita dakwahkan agama yang telah murni dan bersih itu kepada masyarakat, kita didik anak cucu kita dengan berlandaskan kepadanya, kita dorong umat ini kepada kebaikan-kebaikan dan kita peringatkan mereka dari keburukan-keburukan yang ada, sebagaimana dahulu para rasul diutus sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.

Akhirnya, hanya kepada Allah kita memohon agar mengembalikan kemuliaan kaum muslimin sebagaimana dahulu mereka telah mulia.

----------------------------------------------------------------------------------------------
Rujukan:
  1. Perpustakaan-Islam.Com, Abu_ubaidillah, ©copyleft 2001-2006.
  2. Akidah Mukmin, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2002.
  3. Fikih Sunnah Jilid 4, Sayyid Sabiq, Alma’arif Bandung, 1978.
  4. Menuju Generasi Ahli Zikir, Ahli Pikir, dan Ahli Ikhtiar, Abdullah Gymnastiar, Daarut Tauhiid Press Bandung, 1999.
  5. Meraih Bening Hati Dengan Manajemen Qolbu, Abdullah Gymnastiar, Gema Insani Press Jakarta, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar