07 Juli 2013

Al-Hudud


1.    PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).

Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360). 

2.    DELIK HUKUMAN KEJAHATAN
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jaraimul hudud (delik hukuman kejahatan). Yaitu meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muharabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya (Fiqhus Sunnah II: 302). 

3.    KEUTAMANAAN MELAKSANAKAN HUKUM HAD
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “Satu hukuman kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih penduduknya daripada mereka diguyurhujan selama empat puluh hari.” (Hasan ; Shahih Ibnu Majah no; 2057, Ibnu Majah II ; 848 no : 2538, Nasa’I VIII ; 76)
4.    KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUMAN ATAS KELUARGA DEKAT ATAPUN SELAIN MEREKA DAN ATAS ORANG TERPANDANG MAUPUN RAKYAT JELATA
Dari ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah pada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecamanan orang yang suka mencela mempengaruhi kamu dalam (menegakkan hukum-hukum) Allah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah No. 2058 dan Ibnu Majah 849 No. 2540) 
Dari Aisyah bahwa Usamah pernah berbincang-bincang dengan Nabi Muhammad saw perihal seorang perempuan, lalu Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa hanyalah disebabkan mereka biasa  menegakkan hukuman kejahatan atas nama orang yang dipandang hina dan mereka tidak menegakkannya atas  orang yang terpandang. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalaulah sekiranya Fatimah (binti Mumahammad) melakukan (pencurian) itu, niscaya aku potong tangannya.” (Shahih ; Irwa-ul Ghalil no. 2319 dan Fathul Bari XII 86 no. 6887). 
5.    TIDAK DIBENARKAN MINTA PEMBEBASAN HUKUMAN, BILA SUDAH DIMEJAHIJAUKAN
Dari Aisyah r.a bahwa kaum Quraisy sangat memusingkan mereka ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang telah melakukan kasus pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah saw (yaitu mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang berbicara hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah saw dan Beliau menjawab, “Adakah  engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah?” Kemudian Nabi saw berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad memotong tangannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 87 No. 6788, Muslim II: 1315 no 1688, ‘Aunul Ma’bud XII: 31 No: 4351, Nasa’i VII: 74, Tirmidzi II: 442 no: 1455 dan Ibnu Majah II: 851 no: 2547) 
6.    DIANJURKAN MENUTUP AIB SESAMA MUKMIN
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menutup aib orang muslim, niscaya Allah menutup aibnya (juga) di dunia dan di akhirat.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no. 1888, Muslim IV: 2074 no 2699, Tirmidzi II: 539 no 1449, Ibnu Majah I: 82 No. 225, ‘Aunul Ma’bud XIII: 289 no. 4925). 
Dianjurkan juga bagi seorang hamba untuk menutup  aibnya sendiri, sebagaimana  yang ditegaskan dalam sabda Nabi saw, “Seluruh ummatku akan dima’afkan (kesalahannya), kecuali orang-orang yang membeberkan aibnya sendiri; dan termasuk membeberkan aib sendiri seseorang di malam hari melakukan kesalahan, kemudian esok harinya Allah menutupinya, lantas ia berkata (kepada orang lain): Hai fulan, tadi malam saya sudah berbuat begini dan begini. Padahal semalam aibnya ditutupi oleh Rabbnya, maka pada  pagi harinya dia membuka tabir Allah itu atasnya.” (Muttafaqun ’alaih: X: 486 no: 6069, dan Muslim IV: 2291 no: 2990) 
7.    HUDUD SEBAGAI KAFARAH
Dari Ubadah bin Shamit r.a, ia bertutur: Kami pernah berada di dekat Nabi saw dalam salah satu majelis, Beliau bersabda, “Berjanji setialah kamu kepadaku, bahwa kamu tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak  akan mencuri dan tidak (pula) akan berzina.” Kemudian Beliau membaca seluruh ayat ini. Lanjut  Beliau, “Maka barangsiapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah akan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman maka hukuman itu adalah sebagai kafarah (penghapus dosanya), dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi olah Allah kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah; Kalau Dia menghendaki diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki disiksa-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 64 no: 18, Muslim III: 1333 no: 1709 dan Nasa’i VII: 148). 
8.    PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD
Tak ada yang berwenang  menegakkan hudud, kecuali imam, kepala negara islam, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa nabi saw, Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para Khalifahnya sepeninggal Beliau. Rasulullah saw pernah juga mengutus Unais r.a untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya saw: 
“Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” (Hadis ini akan dimuat kembali dalam kisah yang akan segera dikemukakan) 
Seorang tuan boleh melaksanakan hukuman atas hamba sahayanya. Hal ini mengacu pada sabda Nabi saw:
“Apabila seorang budak perempuan berzina, lalu terbukti ia berzina, maka hendaklah dia (tuannya) mencambuknya dengan sunguh-sungguh dan janganlah mencelanya. Kemudian jika ia berzina untuk kedua kalinya, maka juallah ia meki sekedar dengan harga sehelai rambut.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 165 No. 6839 dan Muslim III: 1328 No. 1703).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm 815 - 820.

Hukum Rokok dan Narkoba


Oleh: Syekh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin

Pertanyaan:
“Saya mohon Syekh bisa menjelaskan hukum merokok dan menggunakan narkoba yang diperkuat oleh dalil-dalil?”

Jawaban:
Merokok ataupun menggunakan narkoba adalah haram, dalilnya adalah firman Alloh swt:

“…. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)

“dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqoroh: 195)

Dan analisa kedokteran telah mengungkapkan bahwa menggunakan benda-benda ini berbahaya. Dan bila berbahaya, berarti benda-benda itu diharamkan, dalil lainnya adalah firman Alloh Ta’ala:
 
“ dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. …..” (QS. An-Nisa: 5)

Jadi larangan memberikan harta kita kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,  karena mereka hanya akan  menghambur-hamburkan dan menghabiskannya pada sesuatu yang merusak. Dan tidak diragukan lagi bahwa menggunakan harta untuk membeli rokok dan narkoba adalah perbuatan menghambur-hamburkan dan menghabiskannya pada sesuatu yang merusak. Maka hal itu dilarang berdasarkan ayat ini. Dan dari Sunnah, Rosululloh saw melarang membuang-buang harta, sebagaimana sabda beliau:

“Tidak berbahaya (bagi diri sendiri) dan tidak membahayakan (orang lain)”

Dan menggunakan benda-benda ini adalah suatu perbuatan yang merusak diri sendiri serta membuat seseorang menjadi kecanduan di mana dadanya akan merasa tersiksa dan mengalami kesempitan hidup bila tidak mengonsumsinya, berarti ia telah memasukkan ke dalam dirinya sesuatu yang ia tidak butuhkan.
  ---------------------


~Berhenti Merokok Sekarang Juga...~
~Berhenti Merokok Sekarang Juga...~

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah : 195]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain)” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, kitab Al-Ahkam 2340]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “ Seseorang yang sudah rusak jiwanya, atau keseimbangan dirinya, ia akan menyukai dan menikmati perkara-perkara yang membahayakan dirinya. Bahkan ia begitu merindukannya sampai merusak akal, agama, akhlak, jasmani dan hartanya” [Majmu Fatawa (19/34)]

http://www.facebook.com/Taman.Hidayah

~Berhenti Merokok Sekarang Juga...~

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah : 195]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain)” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, kitab Al-Ahkam 2340]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “ Seseorang yang sudah rusak jiwanya, atau keseimbangan dirinya, ia akan menyukai dan menikmati perkara-perkara yang membahayakan dirinya. Bahkan ia begitu merindukannya sampai merusak akal, agama, akhlak, jasmani dan hartanya” [Majmu Fatawa (19/34)]

'AISYAH RODIYALLAHU ‘ANHA, Berkorban dengan Jiwa dan Harta..!!


Alloh Subhanahu Wata’alaberfirman: “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Alloh; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Alloh di dalam Taurat, Injil dan al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Alloh? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 111)

'Aisyah Rodiyallahu ’Anhamerupakan istri terbaik, wanita yang paling dicintai oleh RosulullohSallallahu ’Alaihi Wa Sallam,,, dan puteri dari seorang lelaki yang paling dicintai oleh beliau. Jiwa dan tangannya mulia karena kederma-wanannya. Ia seorang yang sabar,hidup bersama Rosululloh Sallallahu ’Alaihi Wa Sallamdalam menghadapi kefakiran dan kelaparan, sehingga seringkali ia melalui hari-harinya tanpa sedikitpun tampak ada asap mengepul dari rumahnya, karena tidak ada sesuatu yang bisa dimasak. Dengan kefakiran tidak sedikitpun ia gelisah, dan ketika mendapatkan rizki yang tiba-tiba datangtak terduga, ia pun tidak sombong. Justru ia khawatir jika di rumahnya terdapat emas, perak atau harta berharga lainnya, sehingga dengan lekas ia menginfaqkannya.Sungguh, ia telah meneladani RosulullohSallallahu ’Alaihi Wa Sallam, panutan sekaligus suaminya dalam hal kedermawanan.

Sekali waktu,didatangkan uang seratus dirham kepada ibunda yang dermawan ini,maka dengan segera ia membagi-bagikan semuanya dan tidak menyisakansedikitpun di dalam rumahnya, sampai ia lupa jika saat itu sedang berpuasa dan membutuhkan sesuatu untuk berbuka. Lalu bekas budaknya berkata: “Apakah engkau tidak mau membeli sedikit daging dengan dirham untuk berbuka puasa?” Ia menjawab: ”Jika engkau tadi mengingatkan saya, tentu akan kulakukan.

Subhanalloh… Kehidupan Aisyah Rodiyallahu ’Anha penuh dengan kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya untuk da’wah bersama suaminya, Rosululloh Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam.Ia seorang yang teguh dalam memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, apa yang ia perintahkan di dalamnya mengandung kebaikan dan apa yang ia larang di dalamnya mengandung keburukan, karena ucapan yang keluar dari lisannya merupakan ucapan yang berasal dari lisan RosulullohSallallahu ’Alaihi Wa Sallam. Kehidupannya pun penuh dengan kedermawanan, karena semua hartanya diinfaqkan di jalan Alloh Subhanahu Wata’ala, menjadikan tempat berpijak sebagai ladang amal dan pahala, karena ia menyadari bahwa harta yang ia miliki akan diminta pertanggung jawabannya oleh AllohSubhanahu Wata’ala, sehingga di dalam rumahnya yang sederhana tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun, kecuali segera ia infaqkan untuk da’wah fi sabilillah. Ia tidak mengira bahwa perjuangan cukup dengan pengorbanan jiwa semata,danmengabaikan peran harta..!! Juga tidak merasa cukup hanya berda’wah semata tanpa berinfaq..!! Ia yakin.., bahwa sekecil apapun harta yang ia infaqkan untuk da’wah akan datang pengembaliannya yang lebih banyak lagi hingga tak terhingga di hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak keturunan..!! Begitulah ibunda kita ini merefleksikan sabda Rosululloh Sallallahu ’Alaihi Wa Sallamyang pernah disampaikannya: ”Berjagalah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.” (HR. Ahmad)

Saudiraku..!! Sekarang.., siapa yang akan menolong dien yang sempurna ini..?? Kapan kita akan berinfaq..?? Harta dan jiwa adalah satu paket yang tidak dapat dipisahkan…, keduanya adalah kehidupan…, maka marilah.., marilah berkorban dengan harta..!! Marilah berinfaq di da’wah ”Kemurnian”..!!

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami


Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ? 

Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan" 

Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

(Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)