15 Juli 2012

Salurkan Bantuan Anda Untuk Korban Kebakaran

    Untuk membantu meringankan beban warga korban kebakaran di Jl Dakota V, Rt 10/09, Kelurahan Kebon Kosong, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, kami siap menyalurkan bantuan anda berupa  Pakaian/ Baju Muslim layak pakai/ menutup aurat (seperti: baju koko, Celana Panjang untuk laki-laki, baju kaos laki-laki, kemeja, kemeja batik, Mukena, baju muslimah, baju gamis, Jilbab); makanan pokok (sembako) dan makanan siap saji; material/ uang dan bahan bangunan.

     Salurkan bantuan anda untuk korban kebakaran ke masjid al-ikhlas dan posko terdekat.

Salurkan Infaq Shodaqoh dan Zakat Mal anda untuk mereka.



Alamat Masjid: Jl Dakota V, Rt 012/ 09 Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Telpon yang bisa dihubungi/ HP : 0858 8888  6048 (Harun Iskandar)
Penanggung Jawab/ Koordinator Posko Kebakaran: Bpk H. Urip Utomo

12 Juli 2012

Cara Menetapkan Awal Bulan Ramadhan


Awal bulan Ramadhan ditetapkan melihat hilal, tanggal satu bulan Ramadhan walaupun hanya bersumber dari satu orang laki-laki yang adil, terpercaya, atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.   

Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Orang-orang pada memperhatikan hilal (bulan Ramadhan), lalu saya informasikan kepada Rasulullah saw. bahwa sesungguhnya saya telah melihatnya. Maka, beliau berpuasa dan memerintah segenap sahabat agar berpuasa.“ (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 908, Fiqhus Sunnah I:367 dan hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dalam ‘Aunul Ma’bud IV: 468 no: 2325). 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkar bin Ar Rayyan, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Abu Tsaur, dan telah diriwayatkan dari jalur yang lain: Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali, telah menceritakan kepada kami Al Husain Al Ju’fi dari Zaidah secara makna, dari Simak, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata; seorang badui telah datang kepada Nabi saw dan berkata; sesungguhnya aku telah melihat Hilal -Al Hasan dalam haditsnya mengatakan; yaitu Hilal Ramadhan-, kemudian beliau berkata; apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah disembah kecuali Alloh? Ia berkata; ya. Beliau berkata; apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rosululloh? Ia berkata; ya. Beliau berkata; wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang agar mereka berpuasa besok. (HR. Abu Daud).

 Jika ternyata, hilal bulan Ramadhan tetap tidak terlihat karena tertutup mendung atau semisalnya, maka hendaklah menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, berdasar hadits riwayat Abu Hurairah di atas. 

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Mahdi, telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Shalih dari Abdullah bin Abu Qais, ia berkata; saya mendengar Aisyah berkata; Rosululloh memperhatikan Bulan Sya’ban tidak seperti perhatian beliau kepada selainnya, kemudian beliau berpuasa karena melihat Ramadhan, apabila terhalang untuk melihatnya maka beliau menggenapkan bilangan tiga puluh hari kemudian beliau berpuasa. (HR. Abu Daud)

Adapun hilal bulan Syawal, maka tidak boleh ditetapkan adanya, kecuali dengan dua orang saksi laki-laki yang adil. 

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, serta Khalaf bin Hisyam Al Muqri`, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Manshur dari Rib’i bin Hirasy dari seorang sahabat Nabi saw, ia berkata; orang-orang berselisih mengenai akhir hari Ramadhan. Kemudian terdapat dua orang badui yang datang dan memberikan persaksian di hadapan Nabi saw dengan nama Alloh, sungguh mereka telah menyaksikan Hilal kemarin sore. Kemudian Rosululloh memerintahkan orang-orang agar berbuka. Khalaf menambahkan dalam haditsnya; dan agar mereka pergi ke lapangan.

Dari Abdurrahman bin Zaid bin Khattab, bahwa ia pernah berkhutbah pada hari yang masih diragukan (apakah telah masuk bulan Ramadhan atau belum, pengoreksi), ia berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya aku pernah duduk/belajar kepada para sahabat Rasulullah saw. sambil bertanya kepada mereka, lalu mereka menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berpuasalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan), dan berbukalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan syawal), serta beribadahlah (maksudnya: berhajjah atau berkorbanlah, lihat ‘hasyiah Assindi ‘alaa Nasa’i 4/ 133 pengoreksi). Padanya. Jika mendung menyelimuti kamu, maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari. Dan jika ada dua orang muslim yang menyaksikan (hilal), maka hendaklah kamu berpuasa dan berbukalah!” (Shahihul Jami’us Shaghir no: 3811, al-Fathur Rabbani IX: 264 dan 265 no: 50, Nasa’i IV: 132-133 tanpa lafadz, “MUSLIMAANI”). 

Dari Gubernur Mekkah, al-Harits bin Hathib, ia bertutur, “Rasulullah mengamanatkan kepada kami agar kami melaksanakan ibadah puasa ini bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan); jika kami tidak melihatnya, namun ada dua orang laki-laki yang adil yang menyaksikan (nya), maka kami harus melaksanakan ibadah puasa ini dengan kesaksian mereka berdua!” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 205, ‘Aunul Ma’bud VI: 463 no: 2321). 

Dengan demikian, sabda Rasulullah saw., “Yaitu jika ada dua orang yang muslim yang menyaksikan (hilal), maka hendaklah kamu berpuasa dan berbukalah” dalam hadits Abdurrahman bin Zaid, dan satu riwayat, “Jika kami tidak melihat hilal (bulan Ramadhan), namun ada dua orang adil yang menyaksikan (nya), maka kami harus beribadah shiyam ini dengan kesaksian mereka berdua” yang terekam dalam riwayat al-Harits bin Hatib ini, pengertian dari keduanya menunjukkan bahwa satu orang laki-laki yang menyaksikan hilal tidak dapat dijadikan sebagai dasar pijakan untuk memulai dan menyudahi ibadah puasa. Kemudian dikecualikan untuk memulai shiyam Ramadhan (boleh dilakukan hanya dengan seorang saksi yang telah melihat hilal), berdasar dalil yang diriwayatkan Ibnu Umar r.a. itu. Tinggallah masalah menyudahi puasa Ramadhan, karena tiada dalil yang membolehkan berbuka puasa dengan kesaksian satu orang laki-laki.” Selesai, periksa Tuhfatun Ahwadzi III : 373-374 dengan sedikit perubahan. 


Tanbih “peringatan”:
 
Barang siapa yang melihat hilal satu Ramadhan atau syawal, sendirian maka ia tidak diperbolehkan berpuasa sebelum masyarakat berpuasa dan tidak pula dan tidak pula berbuka hingga masyarakat berbuka. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Puasa adalah pada hari kamu sekalian berpuasa, berbuka (idul fitri) adalah pada hari kamu sekalian berbuka, dan hari kurban adalah hari kamu sekalian menyembelih binatang korban.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3869, Tirmidzi II: 101 no: 593). 


Referensi:

  1. Adaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash- Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 388-391.
  2. Ensiklopedi Hadits, Lidwa Pusaka.

03 Juli 2012

Peristiwa Menakjubkan dalam Hidup Umar bin Abdul Aziz, Bagian ke II


Lembaran hidup khalifah yang ahli ibadah, zuhud dan khalifah rasyidin yang kelima ini lebih harum dari aroma misk dan lebih asri dari taman bunga yang indah. Kisah hidup mengagumkan laksana taman  yang harum semerbak, di mana pun Anda singgah di dalamnya yang ada hanyalah suasana yang sejuk di hati, bunga-bunga yang elok dipandang mata dan buah-buahan yang lezat rasanya.

Meski kami tak sanggung memaparkan seluruh perjalanan hidup beliau yang tercatat dalam sejarah, namun tidak menghalangi kami untuk memetik setangkai bunga di dalam tamannya, atau mengambil sebagian cahayanya sebagai lentera. Karena “mala yudraku kulluhu laa yutraku ba’dhuhu”, apa yang tidak bisa diambil seluruhnya janganlah ditinggalkan sebagian yang dapat diambil.

Saya mengajak Anda untuk berbagi cerita tentang Umar bin Abdul Aziz dalam tiga peristiwa. Adapun peristiwa yang lain akan saya lanjutkan pada kitab selanjutnya jika Allah memberi kemudahan, insyaAllah.

Pada edisi yang lalu, telah kita bahas kisah/ peristiwa pertama. Dan pada edisi kali ini merupakan peristiwa beliau selanjutnya diantara sekian banyak kisah perjalanan hidup beliau.

Kisah kedua dalam kehidupan Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah beliau menulis surat untuk Sulaiman bin Abi As-Sari, gubernur beliau di Shugdi yang isinya, “Buatlah pondok-pondok di negerimu untuk menjamu kaum muslimin. Jika salah seorang diantara mereka lewat, maka jamulah ia sehari semalam, perbaguslah keadaannya dan rawatlah kendaraannya. Jika dia mengeluhkan kesusahan, maka perintahkan pegawaimu untuk menjamunya selama dua hari dan bantulah ia keluar dari kesusahannya. Jika ia tersesat jalan, tidak ada penolong baginya dan tidak ada kendaraan  yang bisa ditunggangi, maka berikanlah kepadanya sesuatu yang menjadi kebutuhannya hingga ia bisa pulang ke tempat asalnya.”

Gubernur Sulaiman segera melaknsanakan titah amirul mukminin. Dia membangun pondok-pondok sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin untuk disediakan bagi kaum muslimin. Lalu berita tersebut tersebar di segala penjuru. Orang-orang di belahan bumi Islam di Barat dan di Timur ramai membicarakannya dan menyebut-nyebut keadilan dan ketakwaan khalifah.

Hingga sampai pula kabar itu kepada penduduk Samarkand. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka mendatangi gubernur Sulaiman bin As-Sari dan berkata, “Sesungguhnya pendahulu Anda yang bernama Qutaibah bin Muslim Al-Bahili telah merampas negeri kami tanpa mendakwahi kami terlebih dahulu. Dia tidak sebagaimana yang kalian lakukan –wahai kaum muslimin-  yakni menawarkan pilihan sebelum memerangi. Yang kami tahu, kalian menyeru musuh-musuh agar mau masuk Islam terlebih dahulu. Jika mereka menolak, kalian menyuruh mereka untuk membayar jizyah, jika mereka menolaknya baru kalian memberikan ultimatum perang.

Sekarang, kami melihat keadilan khalifah Anda dan ketakwaannya. Sehingga kami berhasrat untuk mengadukan perlakuan pasukan kalian kepada kami. Dan kami meminta tolong kepada kalian atas apa yang telah dilakukan salah seorang panglima perang kalian terhadap kami. Maka ijinkanlah wahai amir agar salah satu di antara kami melaporkan hal itu kepada khalifah Anda untuk mengadukan kezhalimah yang telah kami rasakan. Jika kami memang memiliki hak untuk itu maka berikanlah untuk kami, namun jika tidak, kami akan pulang kembali ke asal kami.”

Gubernur Sulaiman mengijinkan salah satu di antara mereka menjadi duta untuk menemui khalifah di Damaskus. Ketika utusan tersebut sampai di rumah khalifah dan mengadukan persoalan mereka kepada khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz, maka khalifah menulis surat untuk gubernur Sulaiman bin As-Sari yang antara lain berisi:

“Amma ba’du..Jika surat saya ini tela sampai kepada Anda, maka tunjuklah seorang qadhi untuk penduduk Samarkand yang akan mempelajari aduan mereka. Jika qadhi itu telah memutuskan bahwa kebenaran di pihak mereka, maka perintahkanlah kepada seluruh pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan kota mereka. Ajaklah kaum muslimin yang telah tinggal bersama mereka untuk segera kembali ke negeri mereka. Lalu pulihkanlah situasi seperti semula sebagaimana tatkala kita belum memasukinya. Yakni sebelum Qutaibah bin Muslim Al-Bahili masuk ke negeri mereka.”

Sampailah utusan itu kepada Sulaiman lalu dia serahkan surat sarat dari amirul mukminin kepada beliau. Gubernur segera menunjuk seorang qadhi yang terkemuka yang bernama Jumai’ bin Hadhir An-Naaji. Beliau segera mempelajari aduan mereka, beliau meminta agar mereka menceritakan hal ihwal mereka. Juga mendengar kesaksian dari beberapa saksi dari pasukan muslim dan pemuka penduduk Samarkand, maka sang qadhi membenarkan tuduhan penduduk Samarkand dan pengadilan memenangkan pihak mereka.

Sejurus kemudian, gubernur memerintahkan kepada seluruh pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan kota Samarkand dan kembali ke markas-markas mereka. Namun tetap bersiap siaga berjihad pada kesempatan yang lain. Mungkin akan kembali memasuki  negeri mereka dengan damai, atau akan mengalahkan mereka dengan peperangan, atau bisa jadi pula bukan takdirnya untuk menaklukkan mereka.

Tatkala para pembesar mendengar keputusan sang qadhi yang memenangkan urusan mereka, masing-masing saling berbisik satu sama lain, “Celaka kalian, kalian telah hidup berdampingan dengan kaum muslimin dan tinggal bersama mereka, sedangkan kalian  mengetahui kepribadian, keadilan dan kejujuran mereka sebagaimana yang kalian lihat, mintalah agar mereka tetap tinggal bersama kita, bergaullah kepada mereka dengan baik, dan berbahagialah kalian tinggal bersama mereka.”

Tinggallah peristiwa yang ketiga yang dialami oleh Umar bin Abdul Aziz. Kisah ini dikisahkan oleh Ibnu Abdil Hakam kepada kita di dalam kitabnya yang berharga “Siirah Umar bin Abdul Aziz” (perjalanan hidup Umar bin Abdul Aziz). Beliau berkata:

“Menjelang wafatnya Umar, masuklah Maslamah bin Abdul Malik dan berkata, ‘Wahai amirul mukminin sesungguhnya Anda melarang anak-anak Anda mendapatkan harta yang ada ini. Maka alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda.’ Ketika dia telah selesai berbicara, Umar berkata, “Tolong dudukkanlah saya!” maka mereka pun mendudukkan beliau, lalu beliau berkata, “Sungguh aku  mendengar apa yang Anda katakan wahai Maslamah, adapun perkataanmu  bahwa saya menghalangi anak-anak untuk mendapat bagian harta, maka sebenarnya demi Allah aku tidak menghalangi sesuatu yang menjadi hak mereka. Namun saya tidak berani memberikan harta yang memang bukan  hak mereka. Adapun yang kau katakan, “alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda (untuk menanggung) anak-anak Anda”, maka sesungguhnya wasiatku untuk anak-anakku hanyalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dengan benar, Dia-lah yang melindungi orang-orang shaleh. Ketahuilah wahai Maslamah! Bahwa anak-anakku hanyalah satu diantara dua kemungkinan, apakah dia seorang yang shalih dan bertakwa sehingga Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya dan Dia menjadikan jalan keluar bagi kesulitan mereka. Ataukah dia anak durhaka yang berkubang dengan maksiat, sedangkan sekali-kali saya tidak mau menjadi orang yang membantu mereka dengan  harta untuk bermaksiat kepada Allah.” Setelah itu beliau berkata, “Panggillah anak-anakku kemari!”

Maka dipanggillah anak-anak amirul mukminin yang berjumlah belasan anak. Begitu melihat mereka meneteslah air mata beliau seraya berkata, “Aku tinggalkan mereka dalam keadaan miskin tak memiliki apa-apa.” Beliau menangis tanpa bersuara kemudian menoleh ke arah mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku, aku telah meninggalkan kepada kalian kebaikan yang banyak. Sesungguhnya ketika kalian melewati seorang muslim atau ahli dzimmah mereka melihat bahwa kalian memiliki hak atas mereka. Wahai anak-anakku, sesungguhnya di hadapan kalian terpampang dua pilihan. Apakah kalian hidup berkecukupan namun ayahmu masuk neraka, ataukah kalian dalam keadaan fakir namun ayahmu masuk surga. Saya percaya bila kalian lebih memilih jika ayah kalian selamat dari neraka daripada kalian hidup kaya raya.”

Beliau memperhatikan mereka dengan pandangan kasih sayang seraya berkata, “Berdirilah kalian, semoga Allah menjaga kalian, berdirilah kalian, semoga Allah melimpahkan rezeki kepada kalian…” Lalu Maslamah menoleh kepada beliau dan berkata:

Maslamah, “Saya memiliki sesuatu yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin!” Umar, “Apakah itu wahai Maslamah?” Maslamah, “Saya memiliki 300.000 dinar…saya ingin menghadiahkan kepada Anda lalu bagilah untuk mereka, atau sedekahkanlah jika Anda menghendaki.” Umar, “Apakah engkau ingin yang lebih baik lagi dari usulmu itu wahai Maslamah?” Maslamah, “Apakah itu wahai amirul mukminin?” Umar, “Engkau kembalikan dari siapa barang itu diambil, karena kamu tidak memiliki atas barang tersebut.”

Maka meneteslah air mata Maslamah seraya berkata,  Maslamah, “Semoga Allah merahmati Anda wahai amirul mukminin tatkala hidup ataupun sesudah meninggal… sungguh Anda melunakkan hati yang keras di antara kami, mengingatkan yang lupa di antara kami, Anda akan senantiasa menjadi peringatan bagi kami.”

Sejak peristiwa itu, orang-orang mengikuti berita tentang anak-anak Umar sepeninggal beliau. Maka mereka melihat tak seorang pun di antara mereka yang hidup miskin dan meminta-minta. Sungguh benar firman Allah Ta’ala:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan  perkataan yang benar.”



Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 219-228.



Peristiwa Menakjubkan dalam Hidup Umar bin Abdul Aziz, Bagian I


Lembaran hidup khalifah yang ahli ibadah, zuhud dan khalifah rasyidin yang kelima ini lebih harum dari aroma misk dan lebih asri dari taman bunga yang indah. Kisah hidup mengagumkan laksana taman  yang harum semerbak, di mana pun Anda singgah di dalamnya yang ada hanyalah suasana yang sejuk di hati, bunga-bunga yang elok dipandang mata dan buah-buahan yang lezat rasanya.

Meski kami tak sanggung memaparkan seluruh perjalanan hidup beliau yang tercatat dalam sejarah, namun tidak menghalangi kami untuk memetik setangkai bunga di dalam tamannya, atau mengambil sebagian cahayanya sebagai lentera. Karena “mala yudraku kulluhu laa yutraku ba’dhuhu”, apa yang tidak bisa diambil seluruhnya janganlah ditinggalkan sebagian yang dapat diambil.

Saya mengajak Anda untuk berbagi cerita tentang Umar bin Abdul Aziz dalam tiga peristiwa. Adapun peristiwa yang lain akan saya lanjutkan pada kitab selanjutnya jika Allah memberi kemudahan, insyaAllah.

Kisah pertama yang mengesankan diriwayatkan oleh Salamah bin Dinar, seorang alim di Madinah, qadhi dan syaikh penduduk Madinah. Beliau menuturkan kisahnya, suatu ketika aku menemui khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz tatkala beliau berada di Khunashirah, tempat pemerahan susu. Sudah lama saya tidak berjumpa dengan beliau. Saya mendapatkan beliau berada di depan pintu. Pertama kali memandang, saya sudah tidak mengenali beliau lagi lantaran banyaknya perubahan fisik pada diri beliau dibandingkan dengan tatkala betemu dengan saya di Madinah. Saat di mana beliau menjadi gubernur di sana. Beliau menyambut kedatanganku dan berkata:

Umar, “Mendekatlah kepadaku wahai Abu Hazim!”

Aku, (Akupun mendekat), “Bukankah Anda amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz?”

Umar, “Benar!”

Aku, “Apa yang menyebabkan Anda berubah? Bukankah wajah dahulu tampan? Kulit Anda halus? Hidup serba kecukupan?”

Umar, “Begitulah, aku memang telah berubah!”

Aku, “Lantas apa yang  menyebabkan Anda berubah padahal Anda telah menguasai emas dan perak dan Anda telah diangkat menjadi amirul mukminin?”

Umar, “Memangnya apa yang berubah pada diriku wahai Abu Hazim?”

Aku, “Tubuh begitu kurus dankering, kulit Anda yang menjadi kasar dan wajahmu yang menjadi pucat, bening kedua matamu yang telah redup.”

Tiba-tiba saja beliau menangis dan berkata:

Umar, “Bagaimana halnya jika engkau melihatku setelah tiga hari aku di dalam kubur, mungkin kedua mataku telah melorot di pipiku…perutku telah terburai isinya…ulat-ulat tanah menggrogoti sekujur badanku dengan lahapnya. Sungguh jika engkau  melihatku ketika itu wahai Abu Hazim, tentulah lebih tak mengenaliku lagi dari hari ini. Ingatkah Anda tentang suatu hadits yang pernah Anda bacakan kepadaku sewaktu di Madinah wahai Abu Hazim?”

Aku, “Saya telah menyampaikan banyak hadits wahai amirul mukminin, lantas hadits manakah  yang Anda maksud?”

Umar, “Yakni hadits yang diriwayatka oleh Abu Hurairah.”

Aku, “Benar, aku masih mengingatnya wahai amirul mukminin.”

Umar, “Ulangilah hadits itu untukku, karena saya ingin mendengarnya dari Anda!”

Aku, “Saya telah mendengar Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya di hadapan kalian terhampar rintangan yang terjal, sangat berbahaya, tidak ada yang mampu melewatinya dengan selamat melainkan orang  yang kuat’.”

Lalu menangislah Umar dengan tangisan yang mengarukan, saya khawatir jika tangisan itu memecahkan hatinya. Kemudian beliau mengusap air matanya dan menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah Anda sudi menegurkan wahai Abu Hazim bila aku berleha-leha mendaki rintangan yang terjal tersebut sehingga aku berhasil menempuhnya? Karena aku khawatir jika tidak mampu menempuhnya.”


Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 219-228.