30 November 2009

Waktu Yang Berlalu Takkan Kembali

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” {Qs. Al-Hasyr: (59) :18}.

Bila Waktu berlalu...

Pernahkah kita menghitung waktu yang kita habiskan sampai detik ini? Jika belum pernah, mari kita coba;

Pertama, kalikan umurmu sekarang dengan dua belas bulan lalu kalikan dengan tiga puluh hari, lalu kalikan dengan 24 jam, lalu kalikan dengan 60 menit, dan terakhir kalikan dengan 60 detik. Hasilnya...?

Banyak juga ya! Jika umur kita 20 tahun saja, ini berarti 20 x 12 x 30 x 24 x 60 x 60 = 622.080.000 detik.

Subhanallah, betapa banyak waktu yang kita miliki bukan. Benar-benar nikmat yang harus kita syukuri. Terlebih lagi jika waktu kita digunakan dengan sebaik-baiknya.

Namun, sungguh menyesal dan meruginya kita, jika harus membagi waktu yang super banyak itu dengan kesibukan pribadi kita, keegoisan kita, kekhilafan dan kelalaian kita, tanpa mengisinya dengan hal-hal positif, apalagi bernilai ibadah. Penyesalan itu datang belakangan karena waktu yang hilang takkan berganti dan takkan kembali.

Waktu takkan kembali...

Beribu pengandaian dan harapan yang tersirat di benak kita takkan mungkin kembali, semua telah berlalu. Sering kali manusia tertipu olehnya. Tertipu untuk berleha-leha di dunia, menikmati waktu muda tanpa ingat masa tua, menghabiskan kesempatan di waktu luang tanpa sadar akan datangnya waktu sempit, menghamburkan kekayaan tanpa mengingat bagaimana jika miskin, menyia-nyiakan waktu sehat dan lupa suatu saat kita bisa jatuh sakit. Terlena dengan hidup dan terlupa akan ajal yang siap menjemput.

Demikianlah manusia yang sering tertipu, sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
“Ada dua nikmat dimana manusia banyak tertipu didalamnya, kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari).

Waktu Laksana Pedang.

Setiap detik kesempatan kita hilang karena jalannya waktu, tanpa kenal kompromi walau hanya sedetik tak pernah terjadi di dunia ini satu detik yang lalu kembali.

Tak heran bila waktu dikatakan laksana pedang. Bila kita tidak menggunakan dengan baik maka kita terhunus karenanya. Betapa dzalimnya kita pada diri sendiri jika tidak memanfaatkannya untuk kebaikan (ibadah). Jadi masih sanggupkah kita menyia-nyiakan waktu?

Ingatlah terbatas!!! Terbatas, seperti kesempatan hidup kita di dunia. Itu sebabnya, kita harus senantiasa mengingat tugas kita sebagai hamba Allah di dunia ini untuk senantiasa beribadah kepadaNya. Allah swt berfirman, yang artinya:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembahKu” {Qs. Adz Zariat (51) : 56}.

Jangan sia-siakan waktumu!!!

An optimist is one who sees an opportunity in every difficulty,
A pessimist is one who sees a difficulty in every opportunity.
{Orang yang optimis adalah orang yang melihat peluang dalam setiap kesulitan,
Orang yang pesimis adalah orang yang melihat satu kesulitan dalam setiap kesempatan}.

Waktu, bagi seorang muslim harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Yusuf Qordhowi dalam kitabnya Al Waktu fi Hayaatil Muslim berkata: “Bila orang melewati sehari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardlu yang ia lakukan dan kemuliaan yang ia wariskan, atau pujian yang ia hasilkan atau kebaikan yang ia tanamkan atau ilmu yang ia dapatkan, maka sungguh-sungguh ia telah menganiaya dirinya sendiri.”

Bila kita menyia-nyiakan waktu setidaknya menimbulkan tiga akibat: kekosongan akal, kekosongan hati, dan kekosongan jiwa. Jika demikian adanya sungguh gersang kehidupan kita. Padahal, kehidupan didunia ini hanya sesaat dan amat semu. Sungguh menyesal diri kita karena takkan ada kesempatan ulang untuk berbuat baik atau bertaubat, bila kita sudah meninggalkan dunia ini. Allah swt berfirman, yang artinya:
“Maka pada hari itu tidak bermanfaat (lagi) bagi orang-orang yang zalim permintaan uzur mereka, dan tidak pula mereka diberi kesempatan bertaubat lagi” {Qs. Ar-Ruum (30) : 57}.

Bagaimana Mengefisienkan Waktu?

Waktu yang kita miliki bisa jadi amat luang dan lapang, namun adakalanya kita tidak bisa memanfaatkan untuk hal-hal yang benar dan baik. Jaslem M. Badr dalam bukunya Efesiensi Waktu dalam Islam memberikan alternatif cara mengefisienkan waktu;

Pertama, pergerakan (kegiatan) terarah. Artinya kita harus pastikan bahwa tujuan dari setiap gerak kita tidak boleh lepas dari jalan Allah.

Kedua, bergaul dengan masyarakat, tanpa bergaul aktifitas kita tidaklah berarti. Jadikan masyarakat sebagai lahan dakwah kita.

Ketiga, suka membantu orang lain. Sabda Rasulullah saw:
“Barangsiapa yang melapangkan suatu kesulitan dunia bagi seorang mukmin, maka Allah pasti akan melapangkan baginya suatu kesulitan di hari kiamat” (HR. Muslim).

Keempat, menjalani lima perkara yang disukai sahabat, yakni selalu bergabung dengan orang-orang shalih yang aktif, mengikuti sunnah Rasul saw, memakmurkan masjid, membaca Al-Qur’an dan jihad fi Sabilillah.

Kelima, membaca. Imam Ahmad berkata: “Kebutuhan manusia terhadap pengetahuan itu porsinya lebih besar daripada kebutuhan makan dan minum. Kebutuhan makan dan minum dalam sehari bisa dihitung, tapi mencari ilmu adalah sebanyak tarikan nafas kita. Ilmu akan menerangi jalan hidup kita”.

Jadi jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu. Sebab ia akan berlalu tanpa ganti dan takkan kembali.


Renungan
Sedesah nafas yang takkan kembali ....................

“Tahun itu ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan di dalamnya adalah cabang-cabangnya. Adapun hari-hari ibarat ranting-rantingnya. Nafas-nafas itu ibarat buahnya. Barangsiapa yang sedesah nafasnya dalam ketaatan maka buah dari pohonnya adalah manis. Sebaliknya jika desahan nafas itu dalam kemaksiatan maka buahnya adalah pahit. Dan hari panennya adalah hari pertemuan denganNya. Dan hari panen itulah yang akan merasakan manis dan pahitnya”. (Ibnu Qoyyim al Jauziyah).

Saudaraku..., sesungguhnya Mizan waktu yang dihisab di sisi Allah adalah detik-detik yang kita lalui di dunia ini dan semua itu adalah penggalan-penggalan kisah yang akan bersaksi di sisi Ilahi. Hari-hari kita adalah durasi untuk kita memotret diri dalam dunia yang singkat ini. Semua nanti akan ditampakkan dari hari-hari yang kita lalui tanpa tercecer walau sedikit.

Hari itu saudaraku, mata-mata terbelalak dan mulut membisu seribu bahasa, wajah manis-pun bermuram durja dan bibir bergincu tak lagi bicara. Adapun tangan dan kaki menjadi saksi atas apa yang kita lalui.

Hari itu semua berangan untuk kembali ke bumi walau sedetik. Ingin rasanya mereka kembali mengukir detik-detik mereka penuh pahala. Namun semua itu tinggal harapan. Bahkan mereka ada yang berandai jika menjadi debu saja ketika di dunia.

Saudaraku..., selalu bertanya, bertanya dan bertanyalah pada dirimu akan masa mudamu, untuk apa ia digunakan? Begitu juga dengan waktu sehat, kaya, lapang dan hidupmu, di jalan apakah ia dihabiskan? Jika tak ada sedetik pun di jalan Allah, maka gembirakanlah dirimu dengan azab yang pedih dan dahsyatnya penyesalan di batas masa yang tak terhingga.

Saudaraku..., sesungguhnya kehidupan sejati kita bukan banyaknya umur kita, melainkan detik-detik kita yang kita leburkan di jalan Allah. Apakah artinya hidup seribu tahun jika tak sedikitpun beribadah di jalan Allah? Begitu juga harta sejati kita, bukan harta yang bermilyaran dan bertumpuk di bank-bank, melainkan berapa banyak yang kita kucurkan di jalan Allah. Lantas mengapa masih ada keluh kesah dan rasa bimbang dengan waktu dan harta yang kita infakkan di jalan Allah?

Saudaraku..., sedetik waktu yang terus berlalu, sepenggal hari yang selalu berganti, sedenyut jantung dan nadi yang selalu berlomba tiada henti, akankah kita sia-siakan?

Ingatlah saudaraku, sedesah nafas ini takkan kembali, ya, takkan kembali selama lamanya.

Buletin Nurul Haq
(No. NH / 032 / 08 / 18 April 2008 M / 11 Rabi’ul Akhir 1429 H)

Referensi :

  1. Waktu fi Hayaatil Muslim, Yusuf Qordowi.
  2. Efesiensi Waktu dalam Islam, Jaslem M. Badr.
  3. Buletin Al-Fityah, Edisi: 002 Th I Juni 2006 M- Jumadil Ula 1427 H.
  4. Majalah UMMATie, edisi 05/ th.I /Desember 2007/ Dzulqo’dah 1428.