22 Oktober 2009

Syahwat dan Syubuhat

“Katakanlah: “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. {Qs. Al-Kahfi (18) : 103-104}.

Secara sederhana ada dua bahaya yang mengancam keselamatan manusia yaitu bahaya akibat fitnah Syahwat dan bahaya akibat fitnah Syubuhat. Akibat fitnah yang pertama orang akan terperosok dalam lembah kehinaan dan kemaksiatan, sedang akibat fitnah yang kedua, orang akan tersesat karena menggunakan dalih istihsan (menganggap baik/benar pada suatu masalah) berdasar kepada kemampuan logika/akal pikiran dan perasaan semata. Dan keduanya akan mencampakkan pelakukanya ke dalam siksa api neraka.

1. Bahaya Fitnah Syahwat

Syahwat secara etimologi berarti “keinginan”. Menurut istilah berarti; “Segala bentuk keinginan yang bersifat duniawiyah, seperti ingin wanita, harta, anak dan lain-lain”. {lihat Qs. Ali-Imran (3):14}. Semua dapat disebut “cinta dunia”.

Tidak diingkari bahwa orang hidup perlu “dunia”. Namun cinta dunia akan menimbulkan petaka. Kalau tidak dunianya ya akhiratnya atau kedua-duanya.

Dr. Ahmad Faried dalam “Tazkiyatun-Nufuus” menulis bahwa “cinta dunia menjadikan neraka ramai dihuni orang, sedang Zuhud terhadap dunia menjadikan ahlinya masuk surga”.

Mabuk minuman keras kerugiannya tidaklah seberat mabuk dunia. Karena orang yang mabuk dunia ia tidak akan sadar kecuali setelah barada dalam kegelapan kubur.

Yahya bin Mu’adz berkata: “Dunia itu araknya syaithan. Barangsiapa yang mabuk karenanya, ia tidak akan segera sadar kecuali setelah berada di tanah kumpulan orang-orang mati dalam keadaan menyesal di antara orang-orang yang merugi”.

Terhadap orang yang cinta dunia Allah mengancam:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. {Qs. Huud (11) :15-16}.

Kerugian yang terberat berdasar ayat di atas ialah kesia-siaan amal mereka dan disiksanya mereka di akhirat kelak. Sedang bahaya yang paling ringan akibat cinta dunia ialah; lalai dari cinta dan dzikir kepada Allah. Tetapi jika qalbu lalai dari dzikrulloh ia akan dihuni syaithon dan akan disetir sesuai dengan kehendaknya.

Para Ulama berkata: Cinta dunia itu sumber segala kesalahan agama karena beberapa hal antara lain:
  1. Cinta dunia menuntut manusia untuk mengagungkan dan mementingkannya, sedang di mata Allah itu rendah. Mengagungkan sesuatu yang dipandang rendah oleh Allah termasuk dosa-besar.
  2. Allah mengutuk dunia, memurkai dan membencinya kecuali jika kehidupan dunia tersebut hanya ditujukan untuk mencari keridhaan-Nya.
  3. Mencintai dunia, berarti menjadikannya sebagai tujuan dan citanya. Sehingga amal shalehpun yang dijadikan Allah sebagai jembatan untuk mencapai ridha-Nya, justeru ia jadikan jembatan untuk mencari kehidupan dunia. Jadi hikmahnya terbalik.
  4. Cinta dunia itu menjadi penghambat bagi si hamba untuk beramal shaleh, sebab ia sibuk dengannya.

2. Bahaya Fitnah Syubuhat

Syubuhat artinya “ketidakjelasan”. Yang dimaksud disini adalah; hasil ajaran yang diakibatkan oleh kerancuan berfikir.

Kita orang Islam yakin, bahwa teks Al-Qur-an akan tetap terjaga kemurniannya karena Allah telah menjamin terpeliharanya sampai hari qiyamat {lihat Qs. Al-Hijr (15): 9}. Akan tetapi penyelewengan makna Al-Qur-an kini sudah banyak terjadi di mana-mana, sehingga menimbulkan berbagai macam ajaran yang diwarnai oleh ketidakjelasan. Di sinilah muncul bermacam-macam kerancuan yang lazimnya disebut “syubuhat”. Akibatnya orang Islam banyak yang sulit untuk menemukan originalitas ajaran Islam, baik di bidang aqidah atau syari’ah.

Penyelewengan makna ini dapat diakibatkan antara lain karena: kejahilan (sedikitnya ilmu agama), mengenyampingkan dalil yang lain (yang benar yaitu dengan mengumpulkan dalil-dalil untuk dijadikan rujukan), menafsirkan ayat dengan tafsirannya sendiri, kesengajaan “fikrah”, cara berfikir yang salah, dimana kebenaran banyak bergantung kepada kemampuan rasionalitasnya.

Penyelewengan yang diakibatkan oleh “fikrah” mempunyai jalan pikiran bahwa “Islam adalah sebuah agama yang memberikan kebebasan berfikir kepada umatnya”.

Disisi lain “Islam adalah agama rasional”. Bila ada ajaran-ajaran agama yang tidak masuk akal (mereka), maka harus ditafsirkan dengan penafsiran yang logis dan rasional. Kemudian “Islam adalah agama yang aktual (selalu sesuai dengan kondisi tempat dan zaman)”, maka ajaran-ajarannya harus di sesuaikan dengan kondisi tempat dan zaman yang ada. Hingga muncul istilah “reaktualisasi” ajaran agama. Jadi agama yang dimaksud “Islam selalu sesuai dengan kondisi tempat dan zaman” adalah; “berpegang kepada ajaran islam secara murni dan konsekwen, tidak akan menafikan maslahatul-ummah di setiap zaman dan persada, bahwa ia akan terus memperbaiki keadaan umat yang ada”. (Syaikh ‘Utsaimin, Nubdzah fil Aqidah, hal. 5).

Demikianlah pandangan orang-orang yang menyelewengkan fikrah Islam. Dan jika kita amati secara kritis, maka terlihatlah, bahwa yang menjadi standar kebenaran terakhir (bagi mereka) adalah akal pikiran, hal ini sesuai dengan prinsip “kebebasan berpikir bagi mereka”.

Itulah benih-benih syubuhat yang dihembuskan oleh barat kepada kita sehingga terjadilah krisis pergeseran nilai dari yang islami kepada yang non islami.

Lalu benarkah hanya dengan dalih kebebasan berfikir manusia mampu menjangkau segala kebenaran (agama) yang ada?

Berkenaan dengan ini Imam Syaathibi pernah menegaskan bahwa; “akal tidak merdeka sama sekali... Akal tidak akan mampu menjangkau kemaslahatan dirinya tanpa wahyu”. (Al-I’tisham, I. Hal, 36). Hal ini didukung oleh sebuah ayat yang menyatakan, bahwa sebelum Allah menugaskan Adam menjadi Khalifah-Nya di muka bumi, Allah mengajarkan “nama-nama kepadanya {lihat Qs. Al-Baqarah (2) : 30-31}. Ini berarti manusia membutuhkan pengajaran, tuntunan, wahyu. Ternyata Allah tidak membiarkan akal pikirannya bebas mencari jawaban-jawaban yang ada. Yang berarti pula bahwa akal harus tunduk kepada syari’at atau wahyu.

Akal yang tidak tunduk kepada syari’at atau wahyu, berarti ia tunduk kepada “hawa”. Mengikuti hawa nafsu berarti memilih jalan sesat. {lihat Qs. Shaad (38) : 26}.

Berdasarkan ayat diatas, bagi akal hanya ada dua alternatif dalam menentukan kepastian hukum; “haq” atau “sesat/batil”. Yang “haq” harus ikut syari’at atau wahyu, yang bathil berarti ikut kepada “hawa”.

Di dalam surat Al-Kahfi (18) : 28, “hawa” dipertentangkan dengan “dzikir”, di surat Al-Qashash (28) : 50, “hawa” dipertentangkan dengan “hudan (petunjuk)” dan di surat An-Najm (53) : 3-4, “hawa” dipertentangkan dengan kata “wahyu’. Berarti ‘hawa’ selalu berada pada posisi sesat. Maka jika akal tidak tunduk kepada syari’at/wahyu, berarti ia ikut kepada “hawa” sedang “hawa” pasti tersesat, maka akal pun (yang tunduk kepada “hawa”) pasti tersesat pula.


Lalu apa bahayanya?

Allah berfirman yang artinya :
“... Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah, ia akan mendapat azab yang berat”... {Qs. Shaad (38) : 26}.

Bila kesesatan ini dalam soal ushul/aqidah yang mengantarkan kepada dosa syirik akbar, pelakunya akan kekal di dalam api neraka {lihat Qs. An-Nisa (4) : 116}.

Bila kesesatan ini hanya dalam soal ‘furu’ yang pelakunya terjerumus dalam amalan-amalan bid’ah syar’iyah, ia tergolong para pelaku dosa yang ada harapan (pada saatnya) akan keluar dari api neraka. Kedua-duanya akan menyengsarakan.

Tingkat bahaya di antara keduanya

Tingkat bahaya akibat fitnah syahwat, biasanya dikategorikan lebih ringan dibanding yang diakibatkan oleh fitnah syubuhat. Karena para pengikut syahwat, pezina umpamanya, tentu di dalam hatinya ada kesadaran bahwa dirinya sebenarnya telah melakukan kesalahan besar, sehingga pada suatu saat (kemungkinan besar) ia akan bertaubat.

Tetapi bagi yang terkena penyakit syubuhat, karena mereka mempunyai keyakinan (dengan dasar akal pikiran dan perasaannya) bahwa itu semua adalah baik, maka hal itu terus dilakukan. Bahkan terus diperjuangkan agar diikuti oleh yang lain. Yang lainpun mau menerimanya dengan anggapan yang sama. Begitu seterusnya, sehingga banyak orang-orang yang tersesat dengan tidak disadari-nya. Kalau hal itu dilakukan sampai meninggal dunia, berarti selama hidupnya terus menumpuk-numpuk dosa akibat kerancuan berfikir itu.
Wallahu A’lam bi-shawab.

Referensi :
Buletin Dakwah, Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, No. 30 Thn.ke-XXII, Syafar 1416 H (Juli 1995).