30 Juli 2009

Menuntut Ilmu ( Tholabul ‘Ilmi )

Wahai saudaraku muslim dan muslimah [semoga Allah merahmati Anda]. Ketahuilah, bahwa kita wajib mempelajari empat hal:

Pertama: Ilmu: Yaitu mengenal Allah, mengenal NabiNya saw, dan mengenal agama Islam, karena tidak boleh beribadah kepada Allah tanpa dasar ilmu. Siapa saja melakukan hal demikian, maka akan terjerumus ke dalam kesesatan, dan telah menyerupai orang-orang Nasrani dalam perbuatannya ini.

Kedua: Amal: Siapa saja berilmu tanpa mengamalkannya, maka ia telah menyerupai orang-orang Yahudi. Sebab mereka itu berilmu, namun tidak mau mengamalkannya. Diantara tipu muslihat setan, ia memperdaya manusia agar tidak senang terhadap ilmu, dengan anggapan bahwa ia akan dimaafkan dihadapan Allah karena kebodohannya. Ia tidak tahu, bahwa siapa yang memiliki kesempatan untuk belajar namun ia tidak melakukannya, maka telah tegak hujjah terhadap dirinya. Inilah dalih yang dikemukakan oleh kaum Nuh ketika:
“..... Mereka memasukkan jari jemari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya ke mukannya.....”.{Qs. Nuh (71) : 7}; agar hujjah tidak tegak terhadap mereka.

Ketiga: Dakwah kepadanya. Karena para ulama dan da’i adalah pewaris para Nabi. Allah telah melaknat Bani Israil; karena:
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” {Qs. Al-Maidah (5) : 79}.
Sedangkan dakwah dan ta’lim (pengajaran) merupakan fardhu kifayah, jika ada sejumlah orang yang mengerjakannya, maka yang lain tak berdosa, namun jika semua orang mengabaikannya maka berdosalah mereka.

Keempat: Sabar atas penderitaan baik dalam menuntut ilmu, mengamalkan, dan mendakwahkannya.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci keberhasilan dalam kesuksesan hidup di dunia dan hidup selamat diakhirat dan akhirnya menjadi penghuni surga.

Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat mengelola, memanfaatkan sumber daya alam untuk kemakmuran, kesejahteraan manusia. Sekaligus dia (Ilmu) juga dapat menaklukan ruang angkasa sebagai tempat alternatif bagi kehidupan manusia, sebagaimana firman Allah swt:
“Hai jama`ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan (ilmu pengetahuan).” {Qs. Ar-Rahman (55) : 33}.

Dalam agama Islam orang yang berilmu mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi di sisi Allah swt. Bahkan Allah swt akan meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu sebagaimana diterangkan oleh Allah swt dalam Al Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” {Qs. Al-Mujaadilah (58) : 11}.

Dan dalam ayat lain dijelaskan tentang perbedaannya orang yang berilmu dengan tidak mempunyai ilmu, sebagaimana di jelaskan dalam firman Allah swt:
“.... Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” {Qs. Az-Zumar (39) : 9}.

Bagi seorang muslim, menuntut ilmu itu merupakan suatu kewajiban sejak kecil hingga dewasa, bahkan sampai ke liang lahat. Jadi sepanjang masa, seorang muslim harus menambah ilmu pengetahuan, bahkan Rasulullah saw menyamakan orang yang menuntut ilmu itu sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah swt, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist:

“Barangsiapa yang keluar dalam menuntut ilmu, maka dia termasuk orang yang (berjalan) dijalan Allah SWT sampai dia pulang.” (HR.Turmudzi).

Orang yang menuntut ilmu pengetahuan, baik itu ilmu yang berkaitan dengan alam seisinya, maupun hanya ilmu khusus yang berkaitan dengan agama saja, maka dia akan memperoleh kebaikan disisi Allah swt, akan tetapi sebelum seseorang mempelajari Furu’iyah (cabang ilmu), seharusnya dia mempelajari ilmu pokok terlebih dahulu, yaitu ilmu agama. Karena hal itu merupakan suatu kewajiban yang pertama dan menjadi dasar atau fondasi bagi kehidupan seseorang di kemudian hari. Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka dia akan difahamkan dalam agama.” (H.R. Muttafaq Alaih).

Bahkan dalam hadist lain dijelaskan bahwa orang yang menuntut ilmu itu akan dimudahkan jalannya masuk surga, sebagaimana dalam sebuah hadist:
“Barangsiapa yang merambah pada suatu jalan dan mengharapkan didalamnya suatu ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).

Untuk itu setiap orang islam baik laki-laki maupun perempuan wajib menuntut ilmu pengetahuan agar bisa menjadi Khalifahtullah dibumi ini. Tanpa ilmu pengetahuan tidak akan bisa mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam ini untuk kesejahteraan manusia.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw besabda:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat.”

Seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan tentu berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan (yang tidak berpengetahuan). Nabi Muhammad saw memberikan gambaran tentang keutamaan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dalam sebuah hadist dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:
“Keutamaan orang alim atas hamba bagaikan keutamaanku atas orang yang paling rendah diantara kamu. Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi sampai semut di tempat lubangnya dan sampai kepada ikan di laut benar-benar mendo’akan baik kepada orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. At-Tirmidzi).

Dan bahkan orang berilmu mendapat hak istimewa dari Allah seperti sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadist. Rasulullah saw bersabda:
“Apabila anak adam telah mati, maka putuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga perkara; shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shalih yang mendo’akannya” (HR. Muslim).

Ilmu adalah salah satu syarat akan diterimanya ibadah kita, karena tanpa ilmu ibadah kita sia-sia (tidak diterima). Maka dari itu marilah kita menuntut ilmu yang sesungguhnya hingga akhir hayat kita, karena menuntut ilmu itu wajib hukumnya dan termasuk jihad fiisabilillah. Dan bila kita mengajarkan pada manusia dan bermanfaat untuk semua orang, maka jalan kesurga di mudahkan oleh Allah swt. Akan tetapi ilmu yang kita cari dan pelajari harus sesuai dengan syari’at Islam, agar kita tidak menyimpang dan tidak membuat kerugian di dunia dan Akhirat.
------------------------------------

Referensi:
  1. 25 Calon penghuni surga oleh: Drs. Imam Bashori As Sayuthi, Mitra Ummat, Surabaya.
  2. Tafsir Sepersepuluh dari Al-Qur’an Al-Karim, Jam’iyah Al- Wafa’ Al-Islamiyah, Bogor.

25 Juli 2009

Murnikan Aqidah mu

Kehidupan beragama kaum muslimin yang telah banyak mengalami penambahan-penambahan, tentunya butuh kepada pemurnian. Sehingga agama mereka kembali sebagaimana diturunkannya pertama kali.

Melalui sejarah kita bisa melihat, tidak ada suatu kaum yang lebih mulia dari pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Hal itu karena mereka benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran Nabi mereka yang masih murni tanpa tercampuri perkara-perkara baru. Mereka sangat jauh dari perkara baru yang diada-adakan di dalam agama. Mereka paham bahwa perkara-perkara baru itu bukan dari islam dan hanya akan membawa kehinaan dan kerugian kepada pelakunya.

BID’AH SEBAB KEHINAAN DAN KERUGIAN

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini padahal bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih).

”Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-penj.) kami padanya maka ia tertolak.” (Riwayat Muslim no. 1718)

Tidak hanya tertolak, bahkan perkara baru itu adalah merupakan kesesatan.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”Jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama -penj.), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Ash-Shahihah no. 2735)

Maka adakah orang yang lebih hina dari pada orang yang berada di dalam kesesatan dan ditolak amal perbuatannya?

Allah ta’ala berfirman, (yang artinya) :
”Katakanlah : Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 103-105).

Tentang makna ayat ini Ali radhiallahu’anhu berkata, “Dan sesungguhnya ayat ini umum (mencakup) setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan jalan yang tidak diridhai. Dia menyangka bahwa jalan itu benar dan amalnya diterima padahal dia telah salah dan tertolak amalnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).

KENYATAAN YANG ADA

Namun sayang, apa yang telah diwanti-wanti oleh Al-Quran dan As-Sunnah terjadi pula dikalangan kaum muslimin. Alangkah banyaknya kaum muslimin yang menganggap suatu perkara termasuk dalam agama padahal agama islam berlepas diri darinya. Dalam segala hal!
Sebagai contoh, dalam aqidah (keyakinan) sebagian orang menyangka, termasuk penghormatan kepada para Nabi dan orang-orang shalih, kita berdoa kepada Allah dengan perantara (kedudukan) mereka di sisi Allah. Padahal kalimat Laa ilaaha illallah menuntut kita untuk berdoa hanya kepada Allah semata secara langsung, tanpa menjadikan orang yang telah wafat atau kedudukan mereka sebagai perantara.

Sesungguhnya Allah telah menunjukkan hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk meminta tolong kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.

Firman-Nya, (yang artinya) :
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 5)

Rasulullah saw. telah berwasiat kepada Abdullah ibnu Abbas ra. untuk hanya memohon pertolongan kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Sabdanya,
“Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan, maka memohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidji dan menshahihkannya dalam kitab Al-Qiyamah :59)
-------
Sebagian orang menyangka bahwa kubur para Nabi, wali dan orang-orang shalih memiliki keutamaan, sehingga mereka berduyun-duyun untuk beribadah di sana. Sedangkan syariat islam yang sempurna melarang kita menjadikan kubur sebagai tempat peribadahan.

Dalam Shahih Muslim tercantum riwayat dari Abdullah Bajli, katanya : “Saya dengar Rasulullah saw. bersabda lima hari sebelum beliau wafat :
“... dan orang-orang sebelum kamu biasa mengambil kuburan Nabi-nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai mesjid. Ingatlah, janganlah kamu mengambil kuburan untuk menjadi mesjid. Saya melarangmu dari demikian!”.
-------
Sebagian orang menyangka, cukup dengan ikhlas dalam ibadah maka ibadah akan diterima oleh Allah. Padahal islam tidak akan tegak kecuali dengan dua kalimat syahadat, Laa ilaaha illallah yang menuntut keikhlasan dan Muhammad rasulullah yang menuntut agar amal ibadah sesuai dengan yang beliau ajarkan.

Firman Allah (yang artinya) :
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah...!” (QS. Ali Imran : 110)
“Sungguh pada diri Rasulullah (saw.) itu terdapat suri tauladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (QS.Al-Ahzab : 21)
-------
Dan masih banyak hal lain dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, politik, ekonomi dan berbagai sisi kehidupan manusia, yang dianggap dari islam padahal agama ini berlepas diri darinya.

KEWAJIBAN KITA

Bila demikian keadaannya, maka sungguh kita harus benar-benar membersihkan aqidah, ibadah, muamalah dan seluruh sisi kehidupan kita dari seluruh noda-noda yang mengotori agama kita. Sehingga kita benar-benar akan kembali kepada islam yang murni, sesuai dengan yang dianut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Hal itu kita mulai dari diri kita, kita pelajari bagaimana cara beragama umat terbaik dan termulia, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya. Kita teladani mereka dan kita tinggalkan segala hal yang bertentangan dengannya. Kemudian, kita dakwahkan agama yang telah murni dan bersih itu kepada masyarakat, kita didik anak cucu kita dengan berlandaskan kepadanya, kita dorong umat ini kepada kebaikan-kebaikan dan kita peringatkan mereka dari keburukan-keburukan yang ada, sebagaimana dahulu para rasul diutus sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.

Akhirnya, hanya kepada Allah kita memohon agar mengembalikan kemuliaan kaum muslimin sebagaimana dahulu mereka telah mulia.

----------------------------------------------------------------------------------------------
Rujukan:
  1. Perpustakaan-Islam.Com, Abu_ubaidillah, ©copyleft 2001-2006.
  2. Akidah Mukmin, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2002.
  3. Fikih Sunnah Jilid 4, Sayyid Sabiq, Alma’arif Bandung, 1978.
  4. Menuju Generasi Ahli Zikir, Ahli Pikir, dan Ahli Ikhtiar, Abdullah Gymnastiar, Daarut Tauhiid Press Bandung, 1999.
  5. Meraih Bening Hati Dengan Manajemen Qolbu, Abdullah Gymnastiar, Gema Insani Press Jakarta, 2002.